DIREKTORAT JENDERAL TATA RUANG
KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG /
BADAN PERTANAHAN NASIONAL

3 Juni 2008

Perlu Perubahan Paradigmatik dalam Kebijakan Pengembangan Perkotaan di Indonesia

Pernyataan diatas menjadi salah satu catatan penting dalam Lokakarya Mini dengan topik Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan yang diselenggarakan pada hari Jumat, 30 Mei 2008 yang lalu, bertempat di ruang rapat Ditjen Penataan Ruang – Departemen Pekerjaan Umum. Lokakarya ini diselenggarakan dengan bertitiktolak dari keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi perkotaan di Indonesia dan mencari jawaban terhadap pemecahan persoalan perkotaan yang ada selama ini.
Lokakarya Mini yang dihadiri oleh pakar-pakar pembangunan perkotaan, seperti Jo Santoso, Hendro Sangkoyo, Haryo Winarso, Haryo Sasongko, Dodo Juliman, Suhadi, Sri Probo, Wicaksono Sarosa, Lana Winayanti, dan Jehansyah Siregar, bukan bertujuan untuk mendaftar-ulang persoalan perkotaan yang telah menumpuk, melainkan untuk mencari rumusan awal kerangka kerja pembangunan perkotaan berkelanjutan yang sesuai dengan kebutuhan dan mampu menjawab berbagai tantangan pembangunan perkotaan di Indonesia.

Dirjen Penataan Ruang, Imam S. Ernawi, dalam pengantar lokakarya menegaskan bahwa kesalahan kita selama ini adalah tidak pernah melaksanakan kebijakan pembangunan perkotaan secara bersama-sama yang sinergis. “Perlu ada konsensus dan komitmen baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat madani untuk berbuat sesuatu secara bersama-sama, tidak sendiri-sendiri”, demikian ujarnya. Masing-masing pemangku kepentingan, baik pemerintah, pakar, maupun masyarakat (civil society), selama ini cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai yang dianut. Dengan pola yang terfragmentasi seperti ini, tujuan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan diyakini tidak akan pernah tercapai.
Di awal diskusi Jo Santoso menekankan perlunya melihat kembali secara utuh persoalan perkotaan baik dari perspektif global maupun lokal. Transformasi kota-kota kita selama ini cenderung dipengaruhi oleh fenomena urbanisasi, globalisasi, modernisasi dan desentralisasi yang mengakibatkan perubahan struktur ekonomi, distribusi lahan, kondisi lingkungan dan hubungan sosio-kultural di perkotaan.

Menanggapi hal tersebut Hendro Sangkoyo mengkritisi perlunya upaya perubahan paradigmatik dalam pengelolaan pembangunan perkotaan dengan lebih mengedepankan keterlibatan warga dan pemberdayaan masyarakat ”kampung”. Kelompok ini jangan hanya dibaca sebagai obyek yang senantiasa dikesampingkan melainkan harus menjadi pelaku aktif bagi perbaikan kondisi lingkungannya. ”Para pelaku pengembangan perkotaan jangan asyik ’bertapa’ dengan kegiatannya sendiri-sendiri” imbuhnya.
Diskusi selanjutnya, secara garis besar mengemukakan adanya factor-faktor yang menyebabkan kondisi kota-kota di tanah air “begini-begini saja”. Apabila model pembangunan perkotaan yang parsial tersebut terus berlanjut, nasib kota-kota tersebut boleh jadi akan semakin buruk, dan entropi di segala aras akan semakin besar.

Selain itu, Haryo Sasongko dari Depdagri dan Wicaksono Sarosa (URDI) menengarai terjadinya error of omission, dimana kita semua sudah terlalu lama membiarkan berbagai kesalahan terjadi. Pemerintah membiarkan masyarakat melanggar hukum, dan sebaliknya para pakar membiarkan para pengambil keputusan berjalan sendiri-sendiri, atau tidak berbuat sama sekali. Kesalahan lainnya adalah error of commission, yang diakibatkan oleh kelemahan para pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan dan melaksanakan program-program pengembangan perkotaan. “Kita sudah berjalan cepat, tapi ternyata salah arah” ujar Hendro Sangkoyo mengibaratkan kebijakan kita selama ini di bidang perkotaan.

Faktor lainnya adalah ketidakpahaman para pakar dan pengambil keputusan terhadap fenomena dinamika perkotaan sebagai sebuah sistem organik yang kompleks. Kerendahan hati untuk kembali belajar sangat dibutuhkan. Perkotaan dengan demikian akan menjadi ‘ruang belajar’ dari komunitasnya, saling berbagi peran dan berbagi tanggung jawab. “Pembangunan perkotaan harus dilakukan dengan melibatkan warganya dan bersifat pro-poor”, tegas Sri Probo mengenai hal ini. “Pengembangan perkotaan harus dimulai dari elemen yang paling kecil, yaitu manusianya” ujar Jehan Siregar menimpali.

Pada akhir diskusi yang dimoderatori oleh Dodo Juliman dari UN-Habitat ini, Dirjen Penataan Ruang mengajak para pakar di bidang pembangunan perkotaan untuk merekatkan-diri satu sama lain (binding) dalam satu forum/regu belajar yang tidak bersifat eksklusif. Selain sebagai arena untuk lebih mendalami dinamika perkotaan, maka secara paralel forum diharapkan dapat memberikan umpan-balik yang tajam dan kritis (policy feedback), serta memberikan pengaruh yang signifikan bagi para pengambil keputusan. Dengan kata lain, forum diharapkan dapat memikirkan kembali bagaimana bentuk dan rumusan kebijakan dan program pembangunan perkotaan yang tepat untuk perspektif jangka pendek dan jangka menengah. Lokakarya mini tersebut akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang terpandu agenda kongkrit di tahun 2008, serta yang akhirnya diharapkan dapat terbentuk sinergi positif dan fondasi kebijakan dan program yang kuat, sebagai cikal-bakal penyelenggaraan pembangunan perkotaan di tanah air yang berbeda dan lebih baik. (end).

Sumber : admintaru030608

Kembali ke halaman sebelumnyaIndeks Berita